Kehilangan hutan dan degradasi lahan
Indonesia sedang menghancurkan hutan-hutannya lebih cepat dari negara-negara manapun di dunia. Perhitungan terkini yang diambil dari pencitraan satelit memberitahu bahwa negara ini kehilangan sekitar 8.400 kilometer persegi hutan primernya yang belum terjamah setiap tahun. Ini sebanding dengan lebih dari sepuluh kali luas wilayah Jakarta (740 km2), atau hampir satu setengah kali luas wilayah Bali (5.780 km2).
Kerugian ini, bersamaan dengan degradasi dan pengrusakan ekosistem yang rentan lainnya seperti lahan gambut, memiliki dua jenis faktor pendorong, atau penyebab:
- Penyebab tidak langsung: berbagai faktor sosial-ekonomi yang memungkinkan wilayah-wilayah hutan diekspolitasi dan lahan-lahan gambut dibersihkan. Di Indonesia, hal yang paling signifikan adalah klasifikasi lahan dan kepemilikan yang tidak jelas, perencanaan tata guna lahan yang tidak efektif, dan pengaruh-pengaruh bisnis dan politis yang korup. Semua ini merupakan akibat dari tata kelola yang buruk: kelemahan-kelemahan lembaga-lembaga formal dan informal, peraturan-peraturan, dan proses-proses untuk mengelola hutan dan lahan.
- Penyebab langsung: Berbagai aktivitas manusia yang secara langsung mengakibatkan deforestasi. Ini seringkali dimungkinkan atau didorong oleh pemicu-pemicu tidak langsung. Di Indonesia hal yang paling signifikan adalah penebangan legal dan ilegal, pertambangan batu bara dan mineral, serta perluasan perkebunan-perkebunan kelapa sawit.
Identifikasi pemicu deforestasi dan degradasi lahan gambut yang paling penting menjadi sulit karena pemicu-pemicu ini berinteraksi dengan cara-cara yang rumit. Dalam beberapa kasus, beberapa pemicu bekerja bersamaan. Klasifikasi lahan yang tidak jelas, misalnya, dapat mendorong korupsi, yang dapat mengarah pada penebangan hutan secara liar, dan yang kemudian dibersihkan untuk lahan pertanian.
Tata kelola yang baik sangat penting bagi pengelolaan lahan dan hutan berkelanjutan. Ini memerlukan lahan yang dikelola oleh para pjabat publik yang kompeten dan akuntabel dengan menggunakan berbagai proses yang transparan dan dapat diprediksi yang menghargai hukum dan sepenuhnya melibatkan masyarakat sipil. Dengan cara ini hak-hak komunitas di seluruh sektor, termasuk hak-hak individu dan komunitas atas lahan, diakui dan dihargai.