SIARAN PERS
INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)
-Pusat Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia-
Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
“Tonggak Pembaharuan Hukum Dalam Putusan Perkara KLHK vs PT National Sago Prima!”
JAKARTA, 12 Agustus 2016 - Setelah mengalami penundaan, akhirnya pada Kamis (11/08/2016) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutus perkara perdata kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) melawan PT. National Sago Prima (PT NSP). Putusan Majelis Hakim yang menghukum dan memerintahkan PT NSP untuk membayar ganti rugi terhadap kerusakan lahan akibat kebakaran sebesar Rp 319.168.422.500 dan melakukan pemulihan sebesar Rp 753.745.500.000 mendapat apresiasi dari banyak pihak. Salah satu dalil Menteri LHK (Penggugat) yang diterima oleh Majelis Hakim adalah bahwa PT NSP (Tergugat) telah terbukti tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam pengendalian dan pencegahan kebakaran lahan. Sedangkan Majelis Hakim menolak pembelaan Tergugat yang menyatakan bahwa sumber api yang membakar konsesi usahanya berasal dari pihak ketiga. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Tergugat tetap bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran lahan di dalam konsesinya meskipun sumber api berasal dari pihak ketiga.
Menyikapi hal ini, Raynaldo Sembiring (Deputi Direktur ICEL) menyatakan bahwa pertimbangan ini sangat penting mengingat sering sekali Tergugat dalam perkara kebakaran hutan dan/atau lahan menggunakan dalih atau pembelaan mengenai api yang bersumber dari lahan masyarakat atau disebabkan oleh perbuatan pihak ketiga. Pembelaan ini digunakan oleh PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) dan PT. Jatim Jaya Perkasa (PT. JJP). “Pertimbangan Majelis Hakim ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan tidak mensyaratkan pembuktian sumber api. Sepanjang kebakaran terjadi di konsesi Tergugat, maka pertanggungjawabannya dapat dimintakan”, ujar Raynaldo. Raynaldo juga menegaskan bahwa pertimbangan Majelis Hakim ini harus menjadi tonggak awal untuk menyudahi polemik dan pernyataan yang banyak menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang selama ini terjadi di konsesi perusahaan disebabkan oleh masyarakat .
Namun putusan ini juga tidak lepas dari kritik, terutama atas dissenting opinion oleh Nursyam sebagai Hakim Anggota II yang menyatakan bahwa Tergugat harus dibebaskan dari kewajiban ganti rugi karena pencemaran dan/atau kerusakan disebabkan oleh bencana alam sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Kepulauan Meranti tentang Status Siaga Bencana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Fajri Fadhillah (Peneliti ICEL) berpendapat bahwa pertimbangan dalam dissenting opiniontersebut keliru dan berpotensi menimbulkan kesalahan pemahaman perihal alasan-alasan yang dapat melepaskan pertanggungjawaban dalam perkara kebakaran hutan dan/atau lahan. “Merujuk pada penjelasan tentang bencana menurut teori maupun Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan sesuai dengan doktrin hukum perdata, peristiwa Karhutla dapat dikategorikan sebagai bencana alam jika tidak dapat diperkirakan, bersifat luar biasa dan tidak adanya kontribusi manusia. Padahal ketiga hal ini tidak disebutkan dalam SK Bupati Kepulauan Meranti tentang Status Siaga Bencana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan”, tegas Fajri. Jika PT NSP mengajukan banding, maka kekeliruan dalamdissenting opinion ini harus benar-benar diperhatikan oleh Pengadilan di Tingkat Banding.
Atas putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara Menteri LHK vs PT. NSP ini, Indonesian Center for Environmental Law berkesimpulan:
- Mengapresiasi pertimbangan Majelis Hakim yang menolak membebaskan Tergugat dari beban pertanggungjawaban dengan dalih sumber api berasal dari luar konsesi usahanya;
- Merekomendasikan para penegak hukum yang memeriksa dan mengadili perkara kebakaran hutan dan/atau lahan untuk merujuk pertimbangan Majelis Hakim sebagaimana disebutkan dalam poin nomor 1;
- Merekomendasikan Pengadilan di Tingkat Banding untuk tidak mengikuti dissenting opinion dari Hakim Anggota II.
- Merekomendasikan kepada Pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tidak mengulangi pernyataan bahwa sumber api berasal dari lahan masyarakat, karena peraturan perundang-undangan tidak mensyaratkan pembuktian sumber api dalam perkara karhutla.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
- Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur (0813 7667 0167)
- Citra Hartati, Kepala Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan (0813 8126 0373)
- Fajri Fadhillah, Peneliti Pengendalian Pencemaran Lingkungan (0812 8317 4014)