Peta Tambang di Kawasan Hutan yang dirilis oleh Jatam Nasional

“Aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan iklim terjadi, seperti industrialisasi tambang batubara, penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan, proses penguraian sampah dan limbah.” – Dr. Ir. Nur Masripatin (Dirjen Pengendalian dan Perubahan Iklim KLHK)

Ekspansi industri pertambangan batubara yang kian massif tidak hanya berdampak pada kondisi lokasi keruk bahan tambang saja, melainkan juga pada lokasi pembangunan PLTU. Lebih dari itu, kerusakan lingkungan banyak terjadi sehingga masyarakat kehilangan mata pencaharian dan tatanan sosial budaya pun turut menjadi korban proses industrialisasi tersebut.

Selain itu, terdapat pula perubahan tatanan ekonomi seperti halnya tata produksi, konsumsi, dan distribusi. Masyarakat yang tadinya menggunakan sistem barter antar petani/masyarakat, kini harus bergantung pada mekanisme pasar. Dalam hal ini, perempuan juga merupakan pihak yang cukup rentan karena dapat menjadi korban langsung saat berusaha mempertahankan ruang produksi asalnya.

Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam karena hampir seluruh aktivitas perempuan berkaitan erat dengan sumber daya alam. Sebagai contoh, kegiatan rumah tangga merupakan salah satu aktivitas perempuan yang di dalamnya memerlukan sumber daya air. Lantas, jika air yang terdapat di lingkungan sudah tercemar oleh industrialisasi pertambangan, maka segala aktivitas mereka akan terhambat.

Tidak hanya itu, perempuan juga dapat menjadi korban ancaman, intimidasi, pemerasan, hingga harus menanggung beban kebutuhan keluarga saat suaminya menjadi korban penangkapan dan kriminalisasi. Tekanan bagi kaum perempuan semakin bertambah ketika harus kehilangan anak atau anggota keluarganya.

Semua aktivitas pertambangan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan masyarakat juga kehilangan mata pencahariannya. Ditambah, perempuan menjadi salah satu korban yang paling rentan dalam proses industrialisasi pertambangan karena kehilangan akses ruang hidup, seperti ia tidak bisa mendapatkan air yang bersih karena airnya sudah mengandung batubara. Sementara aktivitas perempuan 70%-nya membutuhkan air, misalnya saat haid atau nifas, mencuci piring dan baju, mandi, dll.- Merah Johansyah (Koord. JATAM Nasional)

Sayangnya, pemerintah dalam hal ini justru tidak memperlihatkan upaya serius dalam melindungi dan memastikan keselamatan rakyat. Pemerintah justru terlihat seolah-olah berpihak pada perusahaan tambang yang secara otomatis semakin menghancurkan hajat hidup masyarakat.

Hal ini dibuktikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dikeluarkan oleh Rezim Jokowi – JK yang masih menempatkan Pertumbuhan Ekonomi Makro sebagai indikator utama atas kesejahteraan rakyat. Dengan target pertumbuhan ekonomi makro yang sangat ambisius, yakni 7% per tahun hingga 2019, maka cara paling mudah untuk mencapainya adalah dengan mengundang investor sebanyak-banyaknya. Terbukti, hal pertama yang dilakukan oleh Rezim Jokowi – JK adalah mengobral berbagai proyek, khususnya infrastruktur dan energi, yang diklaim akan menggenjot pertumbuhan ekonomi.

“Pemerintah terkesan tidak serius dengan isu aktivitas pertambangan ini, padahal aktivitas ini sudah merugikan banyak hal terutama perempuan dan juga sampai merenggut nyawa anak-anak kecil. Pemerintah masih saja sibuk dengan isu-isu korupsi yang semakin hari semakin diperbesar beritanya.” – Siti Maemunah (TKPT)

Sementara itu, urusan keselamatan rakyat dan alam terlebih lagi perempuan masih dipandang sebagai eksternalitas dalam pembangunan bangsa ke depannya. Setidaknya, terdapat tiga isu pembangunan yang menunjukkan bagaimana keselamatan rakyat dan alam masih dikesampingkan. Pertama, kebijakan energi yang masih berbasis bahan bakar fosil, khususnya industri keruk batubara. Kedua, kebijakan energi yang masih kecanduan batubara ini dibarengi dengan lemahnya komitmen pengembangan energi terbarukan. Ketiga, Massifnya pengerukan kawasan Karst dan pembangunan pabrik semen dengan dalih pembangunan infrastruktur.

Peta Daya Rusak Hulu Hilir Batubara

Proyek infrastruktur inilah yang akan meningkatkan permintaan atas kebutuhan semen nasional sehingga dalam lima tahun terakhir, bermunculan pabrik-pabrik semen baru yang mengancam kawasan Karst sebagai penampung dan penyedia air.

Oleh karena itu, diperlukan adanya rangkaian agenda bersama yang dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan menetapkan target-target sebagai berikut:

  1. Membangun pengetahuan dan kesadaran publik tentang daya rusak pertambangan batubara dan PLTU Batubara sebagai daur produksi dan konsumsi energi fosil dan hubungannya dengan krisis iklim.
  2. Konsolidasi menguatkan solidaritas rakyat untuk perjuangan penyelamatan ruang hidup dan mendorong ekonomi tanding yang berkeadilan dan berkelanjutan.
  3. Mempertemukan perempuan pejuang untuk mendiskusikan problem dan narasi perempuan di sekitar pertambangan batubara.
  4. Tersusunnya rencana strategis melawan perusakan oleh pertambangan batubara dan PLTU Batubara.
  5. Membaca dan membangun koalisi baru di sektor hilir batubara, salah satunya adalah industri semen dan penambangan batu gamping.

Agenda tersebut direalisasikan dalam bentuk kegiatan bertema “Lokakarya dan Temu Rakyat untuk Ekonomi Tanding yang Berkelanjutan dan Berdaulat, Bukan Batubara” yang dilaksanakan pada 18 sampai 20 Desember 2016 dan berlokasi di Wisma Trisula Perwari, Jalan Menteng Raya No. 35, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat.

Pada hari pertama, kegiatan diselenggarakan dengan diskusi bersama antar perwakilan daerah yang berbagi informasi terkait masalah yang selama ini mereka hadapi. Acara ini dihadiri pula oleh beberapa media, komunitas di kawasan Hulu-Hilir Batubara (yaitu warga sekitar tambang di Bengkulu, Jambi, Riau, SumSel, KalSel, KalTim, dan Aceh), dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Agenda hari pertama: Para pejuang di lingkar pengerukan batubara dan pejuang di sekitar PLTU Batubara,
baik laki-laki dan perempuan akan bertemu mendiskusikan agenda penyelamatan
ruang hidup dan ekonomi tanding berkeadilan dan berkelanjutan.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan menampilkan pentas musik perjuangan, orasi Teologi Pembebasan Melawan Tambang oleh Gus Roy Murtadlo (FNKSDA), pemutaran film, dan diskusi.

Hari kedua, acara diselenggarakan dalam bentuk seminar publik dan pameran interaktif. Acara dibuka dengan seminar pertama bertajuk “Ekonomi Tanding yang Berkelanjutan dan Berdaulat, Bukan Tambang” dan seminar kedua bertajuk “Membongkar Daya Rusak Hulu-Hilir Batubara dalam Proyek 35.000 MW dan Nasib Energi Baru Terbarukan”.

Hari kedua, 19 Desember 2016: Seminar dan Lokakarya: Ekonomi Tanding yang Berkelanjutan dan Berdaulat, Bukan Tambang.

Kedua seminar tersebut diisi oleh Andre Wijaya (Komunitas Terminal Benih), Hendro Sangkoyo (SDE), Siti Maemunah (TKPT), Dr.Ir.Nur Masripatin (Dirjen Pengendalian dan Perubahan Iklim KLHK), Abdul Azis (KPK Republik Indonesia), dan Merah Johansyah (Koordinator JATAM Nasional) sebagai pembicara, serta Melky Nahar sebagai moderator.

Acara kemudian dilanjutkan dengan press briefing- Ekspos Temuan JATAM, workshop nasional bertajuk “Advokasi Sektor Energi dan Program 35.000 MW dan Ancamannya Terhadap Perempuan, Keselamatan Rakyat dan Iklim” dengan pembicara Ki Bagus Hadikusuma dan Sarah Agustio, ditutup dengan program penyusunan rencana strategis advokasi penolakan industri batubara.

Sementara itu, kegiatan pameran interaktif bertema “Daya Rusak Batubara dan Krisis Iklim” menampilkan berbagai foto tentang daya rusak pertambangan batubara dan PLTU Batubara sebagai daur produksi dan konsumsi energi fosil, serta hubungannya dengan krisis iklim.

Pameran Interaktif: Foto-foto yang dipamerkan merupakan hasil karya fotografer profesional dan juga aktivis yang bekerjasama dengan masyarakat dalam memperjuangkan keselamatan ruang hidup mereka dari pertambangan batubara.

Hari terakhir diisi dengan kegiatan audiensi dengan Direktorat Jendral Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK dan penutupan.

Suasana audiensi dengan Direktorat Jendral Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK

Secara umum, kegiatan yang mempertemukan para pengambil kebijakan dengan masyarakat sekitar tambang batubara dan PLTU Batubara ini tidak hanya menghasilkan pertukaran informasi mengenai krisis yang dialami warga akibat industri ekstraktif, tapi juga respon inisiatif dalam membangun ekonomi tanding.

comments