Memasuki tahun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pemerintah mewaspadai adanya praktik korupsi secara masif dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2018, Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bukan tanpa alasan, ICW menduga permasalahan korupsi di Pilkada 2018 akan terjadi seperti tahun sebelumnya. Salah satu poin yang perlu dicermati adalah adanya mahar partai politik. Memang tidak semua partai menyatakan terang-terangan perihal mahar ini, namun mereka berdalih menyebut uang ini sebagai sumbangan. Padahal dari segi jumlah, mahar ini nilainya terbilang cukup fantastis. Ongkos untuk menjadi Bupati/Walikota dipatok sekitar Rp 20-30 Miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur, calon harus menyiapkan Rp 20-100 Miliar.

Kesenjangan antara jumlah kekayaan dan mahar yang harus dibayarkan membuat siapapun yang hendak mencalonkan diri akan berpikir keras untuk mendapatkan uang ini. Disebutkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 5 Tahun 2017 bahwa dana kampanye bisa berasal di luar kantong pribadi, dalam hal ini dapat berbentuk sumbangan dari partai, koalisi bahkan dari perusahaan swasta.

Disinilah potensi konflik kepentingan bisa terjadi. Yang kerap terjadi adalah, perusahaan-perusahaan tambang menawarkan sejumlah dana kepada para calon kepala daerah. Apakah sumbangan tersebut diberikan secara cuma-cuma? Tentu saja tidak. Sebagai timbal baliknya jika pasangan calon ini terpilih, mereka harus menerima permintaan dari donatur, yang biasanya adalah untuk mempermudah penerbitan izin lahan tambang. Fenomena ini sering disebut sebagai ‘ijon politik’.

Hal inilah yang harus diwaspadai. Fenomena deforestasi yang terus terjadi adalah efek dari beroperasinya tambang liar di setiap daerah. Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, izin tambang bagi perusahaan swasta dibatasi. Mereka harus bersaing dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang relatif lebih diprioritaskan.

Sempitnya peluang usaha karena pembatasan izin, perusahaan tambang swasta tentunya akan semakin gencar melobi pemerintah daerah. Karena si Kepala Daerah terutama Gubernur adalah pihak yang berwenang memberikan rekomendasi kepada Kementrian ESDM untuk membuka perizinan.

Kalaupun para calon sudah melaporkan jumlah sokongan dana yang diterima, ada kemungkinan terdapat sumber modal lain yang tidak dilaporkan secara transparan. Seharusnya Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) bisa mengecek apakah orang atau perusahaan tersebut memang berkapasitas memberikan sejumlah uang tersebut. Namun Bawaslu tetap sulit untuk mencegah potensi ijon pilitik seperti ini. Jika memang benar ada balas jasa berupa pemberian izin lahan, maka tindakan seperti ini sudah termasuk gratifikasi, sehingga harus bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelesaikan permasalahan ini.

comments