Di beberapa negara, skema insentif fiskal berbasis ekologi dikembangkan melalui transfer fiskal kepada pemerintah di bawahnya (negara bagian atau provinsi) sebagai penghargaan atas kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk kehutanan. Sebagai contoh di negara bagian Parana, Brasil telah menerapkan skema insentif ini (ecological fiscal transfer, EFT) yang dalam waktu hanya 8 tahun, berhasil meningkatkan total kawasan lindung di Parana dari 637 ribu ha pada 1991 menjadi 1,69 juta ha pada 2000 atau meningkat sekitar 165%5. Keberhasilan ini menginspirasi negara-negara bagian lainnya di Brasil dan beberapa negara lain seperti Portugal (2007), India, Jerman, Australia dan Swiss.
Di Indonesia, wacana mengenai EFT mulai berkembang dalam 2 tahun terakhir. Research Center for Climate Change University of Indonesia/RCCCUI (Mumbunan, 2018) menginisiasi penambahan variabel luas kawasan hutan dalam formula pembagian Dana Alokasi Umum (DAU)7 ke daerah. The Biodiversity Finance Initiative (BIOFIN, 2018) yang digagas oleh UNDP mendorong ada skema Dana Insentif Daerah (DID) untuk keanekaragaman hayati8. Kemudian The Asia Foundation (TAF) bersama jaringan masyarakat sipil9 mempromosikan EFT melalui 3 skema yaitu Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE10), dan Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE).
Hingga saat ini, wacana EFT yang dikembangkan melalui skema fiskal yang bersumber dari anggaran pusat masih dalam berbagai proses diskusi untuk penajaman gagasan. Sementara skema EFT yang dikembangkan pada tingkat provinsi dan kabupaten oleh TAF dan jaringan masyarakat sipil sudah mulai berjalan di beberapa daerah yaitu Provinsi Kalimatan Utara dan Kabupaten Jayapura. Beberapa daerah lain sedang dalam proses pembahasan adopsinya, antara lain Papua, Papua Barat, Kalimatan Timur, Riau, dan Aceh untuk skema TAPE dan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Keerom, Kabupaten Supiori dan Kabupaten Kubu Raya untuk skema TAKE.