Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan Festival Perhutanan Sosial (PeSoNa) pada tanggal 6 – 8 September 2017 di Gedung Manggala Wanabakti. Di tahun kedua pelaksanaannya, KLHK beserta CSO dan berbagai stakeholders lainnya mengusung tema Saatnya Untuk Rakyat, yang menghadirkan perwakilan masyarkat dari berbagai provinsi untuk membicarakan mengenai berbagai inovasi dalam hal Perhutanan Sosial, produk-produk hasil hutan yang di olah masyarakat, serta upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti pemerintah daerah, CSO, Masyarakat dan KLHK dalam mendorong upaya percepatan perhutanan sosial yang merupakan salah satu target Nawacita di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). The Asia Foundation (TAF) melalui Program SETAPAK (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola) bersama sejumlah institusi berkesempatan untuk mengisi salah satu sesi sarasehan PeSoNa yang diadakan pada tanggal 7 September 2017 untuk mendiskusikan mengenai perkembangan Perhutanan Sosial (PS) di sejumlah wilayah di Indonesia yang menghadirkan perwakilan masyarakat sebagai pembicara.

Dengarkan Masyarakat Bicara Hutan
Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat tidak lagi menempatkan Rakyat sebagai Obyek Kehutanan tetapi sebagai Pelaku Kehutanan. Berbagai keberhasilan telah ditunjukkan oleh Rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan dengan berbagai skema Perhutanan Sosial ini. Tidak hanya berhasil melestarikan hutan tetapi juga berhasil meningkatkan kesejahteraan dari berbagai sumberdaya hutan : Kayu, Hasil Hutan Bukan Kayu, bahkan Jasa Lingkungan Air, Wisata Alam hingga Karbon.

Berbagi cerita, pengalaman dan pembelajaran masyarakat dalam proses dan pelaksanaan Perhutanan Sosial; mendiskusikan harapan dan tantangan yang dihadapi serta solusi yang diambil; dan mengidentifikasi berbagai langkah ke depan guna mengakselerasi pengembangan usaha perhutanan sosial tingkat lokal Berjejaring dengan sesama pelaku Perhutanan Sosial. Berbagai capaian dan keberhasilan dikomunikasikan dalam sesi ini dengan berbagai pihak, utamanya dengan kelompok masyarakat yang lain. Hal ini penting dilakukan tidak hanya untuk memacu kelompok masyarakat untuk terlibat dalam Perhutanan Sosial tetapi juga memicu masyarakat Pelaku Perhutanan Sosial lain agar dapat lebih aktif mewujudkan tujuan Perhutanan Sosial menjadikan masyarakat sejatera dan hutan lestari.

Sarasehan ini membicarakan mengenai beberapa isu yang dianggap penting, seperti: Peran dan akses serta pemahaman masyarakat dalam skema Perhutanan Sosial; Kontribusi masyarakat/pelaku PS dalam capaian dan target nasional 12,7 juta Ha; Proseduran dan tatacara pengajuan Perhutanan Sosial; Peran dan dukungan Pemerintah Daerah dalam mendukung skema Perhutanan Sosial; Manfaat dan keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat atau komunitas; dan Produk atau komoditas masyarakat.

Dengan narasumber Parjan – Hutan Kemasyarakatan Kalibiru, Kulon Progo, DIY; Junaedi – Hutan Desa Batu Ampat, Kubu Raya, Kalbar; Arman Rangga – Unit Manajemen Hutan Rakyat Tomoni, Luwu Timur, Sulsel; Suratman – Hutan Kemasyarakatan Sidodadi, Tanggamus; Yadi Hidayat – Hutan Nagari Padang Limau Sunday, Solok Selatan, Sumsel; Ahmad Nur – Hutan Kemasyarakatan Aik Bual, Lombok Tengah, NTT; dan Edi Saritonga – Hutan Desa Segamai, Pelalawan, Riau

Catatan penting dalam diskusi:
1. Anggota kelompok tani HKm Kalibiru, Kulon Progo, DIY bertransformasi dari sebelumnya adalah para petani perambah hutan illegal yang memanfatkan hasil hutan kayu untuk mata pencahariannya. Sejak diberikan IUPHKm pada tahun 2003 tidak lagi memanfaatkan hasil hutan kayu tetapi lebih memanfaatkan jasa wisata. Dengan dukungan dari Javleg, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, Kelompok Tani HKm Kali Biru telah berhasil mengembangkan ekowisata dengan omset 5,9 Milyar rupiah pada tahun 2016, meningkat hamper 2 kali lipat dari tahun 2015 sebesar 2,4 Milyar rupiah. Pada tahun 2016 kunjungan wisata ke HKm Kali Biru mencapai lebih dari 400.000 orang.
2. Masyarakat desa Batu Ampat di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat sudah bertahun 2 bersamasama masyarakat 10 desa di sekitar bentang pesisir Padang Tikar, mengambil kayu mangrove sebagai mata pencaharian utamanya. Dengan diberikannya Hak Pengelolaan Hutan Desa pada tahun 2010, praktek penebangan kayu mangrove tidak dilakukan lagi. LPHD didampingi oleh TAF dan ASIAN Foundation, mengembangkan budidaya kepiting dan lebah madu ramah lingkungan. Saat ini produksi kepiting mencapai 17 ton/tahun dan produksi madu mangrove sebanyak 10 ton/tahun
3. Pada awal tahun 2000an, Kawasan Hutan Lindung di KHP Batu Tegik di kecamatan Air Naningan sebagian besar sudah gundul dirambah masyarakat. Dengan pendampingan dari LSM Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT) dan KPH Batu Tegik, Masyarakat membentuk KTH Sidodadi dan pada tahun 2014, KTH Sidodai mendapatkan IUHKm. Saat ini KTH Sidodai sudah sukses mengembangkan agroforestry kopi dengan strata tutupan lahan yang baik. Hasil agroforestry kopi mencapai Rp5.000.000/bulan. HKm Sidodadi juga sudah mengambangakan listrik mikrohidro, yang dapat memenuhi seluruh anggota KTH Sidodai sebanyak lebih dari 700 KK. Atas keberhasilannya KTH Sidodai menjadi juara 1 Apresiasi Wana Lestari tahun 2017 untuk katagori pengelola HKm seluruh Indonesia.
4. Hutan Nagari Padang Limau Sundai di Solok Selatan, Sumatera Barat, pada tahun 2016 mendapatkan dana dari skema penjualan Karbon sebanyak Rp100.000.000/tahun dari total kontrak sebesar Rp600.000.000/tahun, karena berhasil mempertahankan Hutan Nagari tidak ada pembukaan lahan. Dana tersebut digunakan untuk pelatihan pengolahan rotan, tetapi sampai saat ini belum ada kelanjutan pengolahan rotan dan jerenang sampai ke tahap produksi dan pemasaran. LPHN Padang Limau Sundai mengharapkan bantuan modal untuk pengolahan rotan tersebut.
5. Jasa penjualan karbon juga di praktekan di HKm Aik Bual, Lombok Timur, NTB. KTH pengelola HKm Aik Bual sudah mendapatkan jasa penjualan karbon sebanyak 2 kali, yaitu tahap 1 pada tahun 2015 sebesar Rp53.000.000,- dan tahap 2 pada tahun 2016 sebesar Rp103.000.000,- karena berhasil
mempertahankan jumlah pohon sebanyak 400 batang per hektar. Dana tersebut digunakan untuk melindungi kawasan hutan dari perambahan yang masih marak di sekitar areal kerja HKm. KT HKm Aik Bual juga sedang mengembangkan jasa wisata jalur sepeda di dalam hatan. Saat ini sebulan ada sekitar 400 sepeda masuk. Dengan tiket sebesar Rp20.000/sepeda, menghasilkan dana sebesar Rp8.000.000/bulan untuk operasional Kelompok.
6. Areal Kerja Hutan Desa Segamai, di Pelalawan, Riau adalah tanah gambut dengan ketebalan berkisar 3 s.d 14 meter. Areal tersebut yang semula berupa kebun sawit, sejak diberikannya Hak Pengelolaaan Hutan Desa (HPHD) pada tahun 2016, telah diganti dengan tanaman kayu jelutung. Dengan diberikannya HPDH, masyarakat Desa Segamai tidak pernah membakar hutan lagi untuk membuka lahan. Sampai saat ini masyarakat Desa Segamai belum tahu cara pengelolaan lahan gambut untuk berladang tanpa membakar. Masyarakat jadi tidak bisa berladang. Masyarakat mengharapkan adanya pendampingan maupun fasilitasi dalam pengelolaan lahan gambut tanpa membakar untuk berladang jagung dan tanaman lainnya.
7. Pada tahun 2016 diebtuk Unit Manajemen Hutan Rakyat yang mewadahi petani kayu rakyat di 7 kecamatan di Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang didukung oleh SCF. Untuk menampung kayu rakyat yang berlimpah agar lebih memiliki nilai jual yang tinggi, SCF memfasilitasi pembangunan pabrik vinir dengan nilai inventasi 4 milyar rupiah. Dengan didirikannya pabrik tersebut, diharapkan nilai jual kayu rakyat tidak dipermainkan tengkulak dan Pabrik tersebut diperkirakan akan menghasilkan omset sebesar 1 milyar rupiah. Limbah kayu dari pabrik vinir akan dimanfaatkan oleh Ibu-Ibu Kelompok tani untuk dibuat kerajinan tangan dan limbahnya dibuat pupuk organik, sehingga semua hasil kayu dapat bermanfaat dan meningkatkan penghasilan masyarakat.

Silakan klik tautan berikut untuk mengunduh notulensi sarasehan.

comments