Penulis: Mora Dingin, Direktur Perkumpulan Qbar
Sumber: Qbar Padang
Keputusan MK.35 Tahun 2012 atas pengujian terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, telah membuka tabir atas kesewenang-wenangan negara selama ini mengkalim hutan adat sebagai hutan negara. Kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah benar-benar keliru dan mengingkari amanat konsitusi. Dampak dari kebijakan sepihak tersebut menyebabkan kerugian materil dan immateril yang tak terhitung lagi tengah-tengah masyarakat negeri ini.
Kelahiran keputusan Mahkamah Konsitusi tersebut membuat masyarakat adat kembali bangkit untuk merebut ruang-ruang yang selama ini telah dikuasasi oleh negara maupun pihak korporasi. Gerakan masyarakat adat kembali bergema dari pelosok- pelosok desa hingga tingkat nasional. Sungguh merupakan kemenangan yang telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat adat.
Konflik Tenurial
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dampak dari kebijakan yang timpang itu, konflik tenurial terus tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Konflik tenurial yang melibatkan pihak masyarakat adat, pemerintah dan korporasi telah menjadi lingkaran setan yang tidak menemui ujung penyelesaian. Korban terus berjatuhan satu demi satu dan entah sampai kapan ini akan berakhir. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) selama tahun 2015 jumlah konflik tenurial sebanyak 252 kasus dengan luas 400.430 Ha, melibatkan 108.714 keluarga. Dari berbagai kasus itu korban tewas 5 orang, tertembak aparat 39 orang, luka-luka 124 orang dan ditahan (kriminalisasi) 278 orang (www.mongabay.co.id). Artinya konflik terseebut sesungguhnya masih sangat tinggi.
Untuk Sumatera Barat sebagai daerah yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas yang hampir mencapai 55,38 persen dari luas wilayah propinsi secara keseluruhan. Artinya kawasan hutan Sumatera Barat benar-benar masih sangat luas. Namun tentu tidak bisa dipungkiri bahwa kawasan hutan yang cukup luas tersebut tidak lepas dari berbagai macam persoalan, terutama masalah konflik tenurial (penguasaan dan pengelolaan) atas kawasan hutan.
Kawasan hutan yang dimiliki oleh Sumatera Barat memiliki persoalan yang cukup kompleks. Dari semua kabupaten/kota yang memiliki kawasan hutan, bisa dipastikan punya permasalahan tenurial. Permasalahan yang cukup banyak terjadi adalah terkait dengan tidak jelasnya tata batas antara kawasan hutan dan izin-izin usaha korporasi dengan lahan-lahan masyarakat. Selain itu adalah terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dengan izin-izin usaha seperti konsesipemampatan kayu, pertambangan dan perkebunanan.
Dari catatan Perkumpulan Qbar selama Tahun 2015 ada 59 kasus sumber daya alam dengan luas 7.623 Ha di Sumatera Barat. Sementara dalam Catatan KPK ada 29 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tumpang tindih terutama dengan kawasan hutan. Kondisi tersebut sangat memperihatinkan dan tidak tertutup kemungkinan kedepan bisa semakin meningkat lagi.
Hutan Adat Sebagai Solusi
Untuk mengatasi permasalahan konflik tenurial yang sering kali muncul terutama terkait klaim penguasaan kawasan hutan antara masyarakat dengan negara maupun dengan korporasi, maka hutan adat sesungguhnya bisa menjadi salah satu tawaran solusi. Apalagi dalam konteks Sumatera Barat yang identik dengan masyarakat hukum adat Minangkabau, yang memegang teguh hak ulayatnya.
Dalam adat Minangkabau kawasan hutan merupakan kekayaan nagari yang telah terbagi kedalam ulayat kaum dan ulayat suku. Sehingga tidak bisa dipungkiri dalam prinsip hukum adat Minangkabau tidak ada satu jengkal tanah pun yang tidak bermilik. Semuanya telah diatur peruntukannnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Maka dengan penetapan hutan adat, penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan di serahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat. Peran negara adalah memberikan arahan dan pembinaan kepada masyarakat dalam mengelola hutan yang lestari dan berkelanjutan.
Sebagai bentuk pembelajaran Perkumpulan Qbar sekarang lagi mendorong pengakuan hutan adat masyarakat adat Malalo Tigo Jurai, Kab. Tanah Datar. Inisiatif ini muncul karena sudah puluhan tahun masyarakat adat Malalo Tigo Jurai berkonflik dengan pemerintah atas penguasaan kawasan hutan. Terhitung sejak tahun 1980-an dengan diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) hingga sampai saat sekarang masyarakat setempat selalu melakukan penolakan dan perlawanan terhadap Badan Pelanologi Kehutanan (BPKH) dalam melakukan pematokan tapal batas kawasan hutan di daerah tersebut. Masyarakat adat Malalo Tigo Jurai tetap kukuh mengakui hutan yang ada diwilayahnya sebagai hutan ulayat/hutan adat, dan menolak keberadaan hutan negara.
Untuk menetapkan hutan adat maka menjadi prasyarat penting adalah ada Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan terhadap masyarakat adat, disamping juga, harus mempunyai wilayah adat yang telah tertuang dalam peta partisipatif yang diakui oleh batas spadan. Agar pengakuan terhadap masyarakat bisa didorong dalam perda sesuai dengan mandat pasal 67 ayat 2 UU No.41 Tahun 1999 maka harus memenuhi unsur-unsur yaitu sejarah (masyarakatnya masih paguyuban), ada kelembagaan adat, hukum adat, wilayah adat serta masyarakatnya masih melakukan pemungutan hasil hutan.
Dari hasil riset aksi yang telah dilakukan, masyarakat adat Malalo Tigo Jurai memenuhi prasyarat untuk ditetapkan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan mandat UU yang telah dijelaskan sebelumnya. Kiranya menjadi sangat penting Pemerintah Daerah Kab. Tanah Datar, apakah eksekutif atau legislatif harus mendorong Perda Inisiatif untuk pengakuan masyarakat hukum adat Malalo Tigo Jurai. Karena kendala yang dihadapi sampai sekarang adalah belum ada Perda pengakuan dan penetapan masyarakat adat Malalo Tiga Jurai sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat.
Suatu harapan untuk menjadikan hutan adat Malalo Tigo Jurai sebagai salah suatu pilot projek dalam mendorong hutan adat di Sumatera Barat. Karena sampai sekarang belum ada satupun penetapan hutan adat di daerah Sumatera Barat padahal sangat besar peluangnya. Sementara pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang banyak didorong adalah menggunakan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Nagari serta Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dimana skema-skema ini tidak bisa menyelesaiakan konflik tenurial yang sesungguhnya, hanya sebatas penyelesaian yang masih bersifat antara (sementara), karena kawasan hutan yang dikelola masyarakat masih dalam status hutan negara, belum pengakuan kepemilikan sepenuhnya masyarakat adat.
Apalagi dalam konteks Kab. Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo dalam adat Minangkabau dengan nilai adatnya masih kuat dan masyarakat hukum adatnya masih kental, maka hutan adat menjadi penting untuk dibumingkan sekaligus ditetapkan, karena ini merupakan bagian dari upaya untuk mempertahankan kedaulatan adat itu sendiri terutama hak ulayat. Semoga***