Bagi perempuan, hutan dan lahan tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi memiliki makna yang lebih luas. Hutan dan lahan mempunyai nilai sosial, budaya dan merupakan bagian dari eksistensi kehidupan perempuan. Nilai-nilai inilah yang harus dijaga dan dipertahankan.
Lebih daripada itu, perempuan di kalangan masyarakat baik di dalam maupun sekitar kawasan hutan mendapatkan separuh pendapatan mereka dari hutan lebih banyak dibanding laki-laki, di mana pendapatan dari kegiatan di hutan mencapai seperlima dari total pendapatan rumah tangga keluarga yang tinggal di pedesaan dalam dan sekitar hutan. Walaupun kontribusi laki-laki terlihat lebih besar daripada perempuan karena aktivitas mereka dalam menghasilkan sejumlah pendapatan rumah tangga, namun kaum perempuan terlibat banyak dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok, pengelolaan lahan, serta pengolahan hasil hutan dan kebun.
Kehutanan pada umumnya dianggap sebagai sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki sehingga akan mempersulit partisipasi kaum perempuan dalam mengelola hutan dan pengambilan keputusan, di mana perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam upaya mendorong inisiatif hutan rakyat.
Padahal, memiliki aset seperti lahan akan memperkuat posisi kaum perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat serta memberikan insentif untuk mengelola sumber daya secara berkelanjutan. Melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait hutan menunjukkan efek positif bagi serangkaian isu pengelolaan hutan, termasuk peraturan berbagai kegiatan ilegal dan kapasitas dari kelompok masyarakat untuk mengelola konflik, selain itu, memastikan keterlibatan kaum perempuan memberikan masukan dan pengambilan keputusan dapat berkontribusi dalam meningkatkan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya alam.
Dalam memastikan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, program SETAPAK bersama mitra CSO bekerja untuk memastikan pelibatan perempuan di tingkat komunitas dalam kerja-kerja advokasi; menyusun anggaran desa yang mengakomodir kebutuhan kelompok perempuan, memantau aktivitas industri berbasis lahan yang melanggar, memberi masukan dalam rapat-rapat pengambilan keputusan, dan terlibat dalam kepengurusan desa/kelembagaan lainnya sehingga dapat mengakomodir usulan-usulan kelompok perempuan dan kritis dalam memasukkan komponen gender dalam penyusunan kebijakan maupun sebagai bahan masukan ataupun pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Dalam mengimplementasikan pendekatan responsif gender di lapangan, ada sejumlah tantangan yang ditemui antara lain:
- Minimnya pengakuan dan partisipasi perempuan.
- Advokasi alih fungsi lahan umumnya didominasi laki-laki.
- CSO belum mengintegrasikan Gender Responsive Approach (GRA) ke dalam rencana program dan kegiatan.
- Kurangnya inisiatif untuk menggunakan analisis gender dalam produk-produk kebijakan.
- Pendekatan berbasis gender seringkali diterjemahkan sebagai program yang berfokus pada kegiatan ekonomi mikro, tidak mendorong kelompok perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, program SETAPAK bersama para mitra terus berupaya untuk memperjuangkan keadilan gender dalam tata kelola hutan, dengan strategi sebagai berikut:
- Mendorong transformasi kebijakan alih fungsi lahan dan pengelolaan hutan berkelanjutan yang adil berbasis gender.
- Menguatkan mitra SETAPAK untuk mampu menggunakan analisis gender melalui berbagai program peningkatan kapasitas, melakukan pendampingan kepada komunitas dan perempuan serta memastikan program spesifik perempuan di wilayah yang membutuhkan.
- Mendorong kemunculan local champion perempuan di tingkat komunitas.
- Memperkuat akses dan kontrol bagi kelompok perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor kehutanan melalui implementasi kebijakan yang berkeadilan gender. Program reforma agraria dan perhutanan sosial hendaknya didorong dan ditujukan secara khusus untuk kelompok perempuan dengan dukungan fasilitasi dan asistensi.
- Memperkuat penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor kehutanan yang seringkali berdampak buruk bagi sumber penghidupan dan nilai sosial budaya kelompok perempuan. Penataan dan pencabutan izin-izin sektor kehutanan dan yang terkait dengan kawasan hutan harus diikuti dengan komitmen dan koordinasi yang kuat dan maksimal dengan instansi vertikal lainnya dan pemerintah daerah serta mendorong pelibatan masyarakat di sekitar kawasan hutan khususnya kelompok perempuan.
- Secara konsisten mengimplementasikan MK 35/2015 dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat termasuk hak perempuan adat atas hutan adat mereka.
- Memberikan jaminan keamanan dari ancaman kekerasan dan intimidasi terkait konflik sumberdaya alam yang dialami oleh kelompok masyarakat termasuk perempuan.
- Memastikan kebijakan alokasi anggaran yang menjamin hak perempuan untuk mengakses program pemberdayaan masyarakat dan skema permodalannya. Harus ada jaminan bagi kelompok perempuan di sekitar kawasan hutan yang terlibat dalam skema reforma agraria dan perhutanan sosial mendapatkan akses permodalan.
- Mengembangkan dan memperkuat lingkar belajar pejuang keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor kehutanan sebagai upaya memberikan masukan dalam penyusunan perencanaan, pengelolaan dan evaluasi kebijakan di sektor kehutanan. KLHK juga harus menyiapkan skema fasilitasi dan asistensi bagi kelompok perempuan dalam upaya memperkuat kapasitas mereka guna menjamin pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan.
Hasilnya, hingga awal tahun 2019 sejumlah advokasi Program SETAPAK dan mitra CSO membuahkan hasil antara lain:
- 65 institusi mitra telah menggunakan analisis gender dalam advokasi TKHL (Tata Kelola Hutan dan Lahan)
- 20 orang perempuan di komunitas terlibat sebagai anggota Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD)
- 30 orang perempuan terlibat dalam advokasi menolak ekspansi perusahaan sawit
- 7 orang perempuan terlibat dalam pertemuan desa untuk membahas alokasi anggaran desa
- Advokasi JATAM Kaltim dan kelompok perempuan di Kalimantan Timur untuk penutupan lubang tambang di Samarinda kini menjadi perhatian Presiden dan sudah ditindaklanjuti oleh KLHK dan KSP (Kepala Staff Kepresidenan).
Selain itu, kami juga telah merealisasikan transformasi menuju adil gender dalam TKHL (Tata Kelola Hutan dan Lahan):
- Banda Aceh memiliki organisasi masyarakat sipil bernama MaTA (Masyarakat Transparansi Aceh), dengan pengalaman panjang dalam mendorong keterbukaan informasi publik, salah satunya di sektor tata kelola hutan dan lahan di Aceh.
Strategi yang dibangun adalah penguatan kapasitas komunitas, terutama kelompok perempuan untuk mendapatkan informasi tentang seluruh permasalahan di wilayah mereka, terutama yang berkaitan dengan dokumen perizinan untuk wilayah di dalam dan sekitar kampung mereka. Informasi atau dokumen ini dibutuhkan sebagai materi advokasi serta basis bagi warga untuk bernegosiasi dengan pemerintah daerah, untuk menyelesaikan masalah sengketa lahan, pencemaran lingkungan serta tuntutan pemenuhan hak-hak warga sekitar perusahaan yang berbasis hutan dan lahan.
Untuk meyakinkan masyarakat bahwa keterlibatan perempuan akan memperkuat kerja advokasi sekaligus mempercepat penyelesaian sengketa lahan di wilayah mereka, MaTA menggunakan pendekatan dialog bersama aparatur gampong, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tentunya kelompok perempuan, sebelum proses penguatan kapasitas dilakukan.
- Sedangkan di Provinsi Sulawesi Tengah, yang melakukan pendekatan GRA (Pendekatan Gender Responsif) adalah dari LBH APIK dengan fokus pada pendampingan hukum bagi perempuan dan anak-anak terutama korban kekerasan dalam rumah tangga.
Strategi yang diambil LBH APIK dalam implementasi GRA adalah:
- Penguatan kepada kelompok perempuan paralegal
- Pelaporan kasus kepada penegak hukum dan Ombudsman.
Strategi kedua yang digunakan oleh LBH APIK bersama dengan paralegal melaporkan kasus ini kepada Ombudsman Provinsi Sulawesi Tengah. Selain itu, LBH APIK juga mendampingi masyarakat di Desa Loli Saluran , Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala yang berkonflik dengan CV Labuan Lelea Ratan.
Di mana proses pendampingan dimulai LBH APIK dengan melakukan analisis untuk memahami bahwa kerusakan lingkungan membawa dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, dalam hal ini perempuan paling berperan dalam memastikan bahwa kebutuhan rumah tangga termasuk air bersih harus tersedia. Oleh karena itu, beban perempuan untuk mencari air bersih akan bertambah ketika sumber air bersih hilang karena kerusakan lingkungan.
LBH APIK melakukan pendampingan kepada kelompok perempuan agar mereka memahami hak-haknya, memiliki kepercayaan diri tampil di depan umum, dan ikut serta dalam rapat kampung untuk menentukan keputusan di tingkat desa.
- Beralih ke provinsi Sumatera Barat, terdapat Qbar (salah satu CSO mitra SETAPAK) yang berperan kuat untuk memfasilitasi masyarakat desa untuk mengelola sumber daya alam terutama hutan yang partisipatif. Dalam melaksanakan program pendampingan dan advokasi, Abar juga menggunakan pendekatan GRA, yang tidak terlepas dari budaya matrilineal yang kuat dan menjadi tolak ukur di ranah Minang.
Tanah ulayat di Minangkabau dikuasai kaum perempuan yang menduduki posisi sebagai bundo kanduang, namun hak kelolanya tetap diserahkan kepada para laki-laki yang berposisi sebagai pemuka adat. Memiliki budaya matrilineal tak lantas membuat kaum perempuan menjadi pengambil keputusan. Meskipun setiap kebijakan terkait tanah ulayat telah melalui musyawarah yang melibatkan perempuan, namun kesepakatan yang muncul akan disampaikan oleh pemuka adat atau niniak mamak, sehingga perspektif perempuan tidak pasti terwakili.
Dalam kerja advokasinya, Qbar juga mendorong tata kelola hutan dan lahan yang baik melalui perluasan wilayah kelola masyarakat dan advokasi penataan izin industri berbasis lahan di provinsi Sumatera Barat, perempuan akan dilibatkan atas nama keadilan. Qbar juga memastikan bahwa masyarakat termasuk kelompok perempuan harus terlibat aktif dalam upaya menjaga hutan dan lahan mereka termasuk mendapatkan dokumen legalitas izin perusahaan ini.