Prosesi penandatangan nota kesepahaman (MoU) tentang Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam antara KPK dan beberapa kementerian di Istana Negara, Kamis (19/3) © setneg.go.id
Di Indonesia, sudah banyak inisiatif atau pernyataan dari sejumlah pihak berkaitan dengan upaya penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA). Namun yang masih sedikit adalah memastikan bahwa inisiatif atau pernyataan soal penyelamatan SDA tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
Pada 19 Maret 2015 lalu di Istana Bogor, dengan disaksikan oleh Presidan Joko Widodo sebanyak 29 pimpinan Kementrian dan Lembaga menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam di Indonesia (GNPSDA). Dalam kegiatan juga dilakukan deklarasi institusi penegak hukum (KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan TNI) dalam mendorong penyelamatan SDA di Indonesia.
GNPSDA dan Deklarasi Bogor merupakan kegiatan yang difasilitasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan fungsi trigger mechanism untuk mengatasi sejumlah persoalan pada pengelolaan SDA sekaligus meningkatkan penerimaan negara demi kesejahteraan rakyat. Sebelumnya, KPK telah melakukan sejumlah kajian pada sektor mineral dan batu bara, sektor kehutanan, serta sektor kelautan.
Sebagaimana dilansir dari website KPK, pada sektor kehutanan hasil kajian KPK menunjukkan, seringkali muncul konflik lahan yang terjad di dalam kawasan hutan, antara negara dengan masyarakat adat yang telah lama mendiami kawasan hutan. Selain itu, ketidakjelasan status hukum kawasan hutan mengakibatkan tumpang tindih perizinan. Kegiatan korsup minerba tahun 2014 menemukan sekitar 1,3 juta hektar izin tambang berada dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta hektar berada dalam kawasan hutan lindung. KPK juga menemukan bahwa lemahnya pengawasan dalam pengelolaan hutan, telah menyebabkan hilangnya potensi PNBP. Misalnya, akibat pertambangan di dalam kawasan hutan negara kehilangan potensi PNBP sebesar Rp15,9 triliun per tahun. Hal ini disebabkan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai. Belum lagi kerugian negara akibat pembalakan liar yang mencapai Rp35 triliun.
Lebih dari setahun sejak kedua kegiatan tersebut dilakukan muncul pertanyaan apa kabar GNPSDA? Bagaimanakah pelaksanaan dari Rencana Aksi GNPSDA yang harus dilaksanakan oleh 29 Kementrian dan Lembaga dibawah pemerintahan Jokowi.
Dalam perjalanan waktu -GN PSDA juga tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Muncul sejumlah pernyataan Presiden berkaitan dengan upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Sebagai bagian evaluasi, hal yang penting dan perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan penyelamatan PSDA dalam dua tahun terakhir adalah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh institusi yang berwenang khususnya Kepolisian dan KPK.
Dari aspek penindakan di Kepolisian, berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri per 22 Oktober 2015, polisi telah menetapkan 247 tersangka pembakar hutan. Dari jumlah itu, terdapat 230 tersangka perorangan dan 17 tersangka korporasi. Tujuh di antara korporasi itu adalah korporasi penyertaan modal asing. Selain itu, masih ada 21 perkara yang masih dalam status penyelidikan dan 104 perkara yang sudah dinaikkan ke tahap penyidikan. Adapun 62 perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
Pada satu sisi jumlah kasus yang ditangani oleh Kepolisian terbilang cukup fantastis dan perlu mendapat apresiasi. Namun pada sisi lain muncul persoalan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara tersebut di Kepolisian. Hingga saat ini belum ada informasi terbaru dari pihak Bareskrim mengenai perkembangan secara rinci penanganan perkara tersangka tersebut. Desakan public agar pemerintah membuka daftar perusahaan yang melakukan pembakaran hutan juga akhirnya hanya sebatas janji namun tidak juga pernah direalisasikan. Publik juga dikejutkan dengan penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang dilakukan oleh Polda Riau.
Akibat transparansi dan akuntabilitas yang minim, muncul persepsi negative disejumlah kalangan, saat ini mulai ada gejala pergesaran dari “Selamatkan SDA” menjadi “Selamatkan Pelaku Kejahatan SDA”. Untuk memberikan efek jera, tidak terlihat pula langkah kepolisian menjerat pelaku kejahatan kehutan termasuk karhutla secara berlapis tidak saja dengan UU Sektoral namun dengan UU lain seperti UU Tipikor maupun Pencucian Uang.
Kinerja KPK dalam Penyelamatan SDA juga bukan tanpa kritik. Harus diakui KPK secara intensif telah melakukan sejumlah kegiatan Kordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba, Kehutanan dan Perkebunan dengan sejumlah pihak terkait di Jakarta dan beberapa Provinsi di Indonesia. Namun yang belum terlihat dari KPK adalah upaya mensinergikan upaya pencegahan dengan upaya penindakan yang menjadi salah satu andalan KPK. Padahal dari Kajian yang KPK dan pelaksanaan rencana aksi GNPSDA dilakukan banyak temuan-temuan yang bisa ditindaklanjuti ke proses penindakan oleh KPK. Dalam pantauan ICW, pasca deklarasi GNPSDA pada 19 Maret 2015 lalu hingga saat ini belum ada satupun kasus korupsi yang baru disektor SDA yang dibongkar oleh KPK.
Perkara korupsi sektor SDA khusus Kehutanan masih belum banyak yang ditangani oleh KPK. Data ICW menyebutkan sejak KPK berdiri sedikitnya terdapat 12 perkara korupsi di sektor kehutanan yang telah atau sedang ditangani KPK. Kasus sector SDA yang terakhir dibongkar KPK adalah pada tahun 2014 dalam kasus suap yang melibatkan Gubernur Riau dan Bupati Bogor. Jumlah kerugian negara yang telah ditangani KPK berjumlah Rp. 2,2 Tiliun dengan nilai suap sebesar 17 Ribu Dollar Singapura dan Rp. 8,657 Miliar.
Dari 12 perkara tersebut sedikitnya ada 35 orang yang dijerat hukum. Mereka berlatar belakang kepala daerah-mantan kepala daerah (8 orang), Anggota DPR (6 orang), Pengusaha (10 orang), PNS daerah (10 orang), Lain-Lain (1 orang). Dari 35 orang pelaku sebanyak 34 orang telah divonis dan satu orang masih berstatus sebagai tersangka, yaitu Edison Marudut dalam perkara pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau.
Agar GN PSDA tidak berhenti sekedar seremonial atau jargon semata, maka ada sejumlah rekomendasi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dan juga KPK.
Rekomendasi yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden Jokowi, antara lain:
- Evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja jajaran pemerintah – khususnya Kementrian LHK, Kepolisian dan Panglima TNI - dalam upaya penyelamatan SDA termasuk mengatasi masalah karhutla. Perlu dicek kembali apakah sejumlah rencana aksi dalam GNPSDA yang diinisiasi oleh KPK maupun instruksi yang diberikan Jokowi telah dilaksanakan seluruhnya oleh jajaran Kementrian/Lembaga dibawah Presiden.
Atas hasil evaluasi yang dilakukan Jokowi juga sebaiknya mengambil langkah-langkah strategis mengatasi masalah yang muncul, melakukan koordinasi secara rutin antar jajaran pemerintah dan KPK, termasuk pula pemberian reward and punishment - peringatan bahkan jika diperlukan pencopotan pimpinan atau pejabat di Kementrian/Lembaga – untuk memastikan instruksi atau rencana aksinya dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh.
- Mendorong upaya penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku kejahatan disektor SDA. Harus dipastikan tidak ada pelaku kejahatan SDA yang “diampuni” ataupun “dibebaskan” oleh Kementrian LHK ataupun Kepolisian maupun Kejaksaan. Dalam peristiwa terbaru, Kapolri Tito Karnavian perlu melakukan investigasi terhadap tindakan Polda Riau menghentikan penyidikan (SP3) 15 korporasi yang diduga menjadi pelaku karhutla. Jika ditemukan ketidakwajaran maka SP3 terhadap 15 korporasi tersebut harus dibatalkan dan mengambil tindakan tegas terhadap pejabat jajaran pejabat di Polda Riau yang dinilai bertanggung jawab. Supervisi dan Koordinasi dari Mabes Polri perlu dilakukan secara terus menerus untuk mencegah jajaran Polda bertindak tidak professional atau melakukan penyimpangan dalam .
Agar proses penegakan hukum berjalan secara optimal maka selain membentuk Satgas Anti Mafia SDA atau Satgas Mafia Hutan maka jajaran KLHK maupun penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan perlu menjerat pelaku kejahatan hutan secara berlapis. Agar memberikan efek jera pelaku dijerat tidak saja dengan UU Kehutanan atau UU Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Hutan (UU P3H) namun juga dengan UU tentang Pemberantasan Korupsi maupuan UU Pencucian Uang. Pihak Kepolisian dan KLHK juga perlu mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan (Hutan, Kebun, Tambang) yang telah dibekukan atau dicabut izin operasinya namun tetap melaksanakan aktivitasnya diarea yang telah dibekukan atau dicabut tersebut.
Sedangkan rekomendasi untuk Pimpinan KPK adalah mendorong langkah pencegahan dan penindakan dalam kerangka GNPSDA dapat dijalankan secara simultan. Untuk langkah pencegahan, KPK sebaiknya tidak berhenti hanya melaksanakan kegiatan koordinasi dan supervisi bidang pencegahan GNPSDA disejumlah daerah, namun perlu dibuat Rapor atau peringkat bagi masing -masing Kementrian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan rencana aksi GNPSDA. KPK sebaiknya juga melaporkan secara berkala kepada Presiden agar menjadi perhatian dan bagian evaluasi. Selain pencegahan, maka sudah waktunya KPK melakukan langkah-langkah penindakan – menjerat individu atau korporasi - untuk memastikan adanya efek jera terhadap pelaku kejahatan di sektor SDA.
Penulis: Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch.
Makalah disampaikan dalam Seminar Tata Kelola Hutan dan Lahan di Yogyakarta, 28 Juli 2016.
© setneg.go.id