Sebagai negara agraria, pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat Indonesia, dimana hampir 60% lahan dikelola oleh perempuan. Pada dasarnya perempuan memiliki peran dan pengetahuan sangat baik dalam setiap tahapan pengelolaan hutan dan lahan, namun karena budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia, seringkali pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam berbagai proses tata kelola dan pengambilan keputusan atas tanah/lahan. Bahkan tak jarang kita dapati bahwa hak-hak perempuan atas tanah justru diabaikan.
Bagi perempuan, hutan dan lahan tidak hanya dinilai ekonomis saja. Lebih luas, hutan dan lahan memiliki nilai sosial, budaya dan merupakan bagian dari eksistensi perempuan. Namun seiring dengan meningkatnya sejumlah penguasaan dan perampasan lahan, nilai-nilai tersebut semakin terkikis. Reforma agraria sejati yang mengutamakan keadilan gender masih jauh dari harapan masyarakat, khususunya perempuan.
Kondisi seperti ini membuat perempuan semakin termarjinalkan karena perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap semua keputusan yang diambil oleh pemerintah desa di mana sebagian besar dijabat oleh laki-laki. Sehingga perempuan seringkali tidak dapat menyampaikan persoalan terkait hak atas tanah dan pengelolaannya, padahal forum ini adalah salah satu ruang utama untuk membahas perencanaan, pemanfaatan, monitoring serta evaluasi dalam pembangunan.
Dibalik kenyataan pahit ini, di beberapa daerah sudah mulai muncul sosok perempuan sebagai pemimpin komunitas pertahanan lahan dan lingkungan hidup. Berjuang dengan caranya masing-masing, mereka hadir untuk memperbaiki keadaan yang sedang terjadi, terutama dalam bidang kehutanan. Mereka memimpin komunitas, desa dan masyarakat untuk melawan serta melakukan upaya penguatan.
Tiga puluh lima tahun pembangunan di Indonesia tidak serta merta memberikan manfaat kepada perempuan dan laki-laki dari komunitas desa. Kerusakan hutan secara masif sejak tahun 2000-2012 seluas 15, juta hektar (Jurnal Science, 2013) telah menyebabkan kemiskinan struktural makin menguat di Kawasan desa sekitar hutan. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat bahwa hingga 2014 jumlah rumah tangga di sekitar kawasan hutan berjumlah: 8.643.228 jiwa atau sekitar 29 % dari total jumlah rumah tangga di Indonesia. Di sisi lain, terdapat penduduk miskin di kawasan pedesaan berjumlah 17.770.000 jiwa atau sebanyak 14,17% dari total populasi Indonesia.
Namun, didalam komunitas ada kesenjangan besar pula antara peran yang diambil oleh laki-laki dan perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa sumbangan pendapatan (produktif) dari laki-laki sebanyak 64.83% dan perempuan 35.17%. Penelitian dari CIFOR (2012) juga menemukan bahwa kehutanan secara umum didominasi kaum laki-laki dan mempersulit partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dan pengambilan keputusan.
Gencarnya pembangunan di Indonesia yang dilakukan selama 35 tahun ini ternyata justru membangun jurang perbedaan antara kota dan desa, sehingga masyaralat pedesaan semakin tertinggal. Perempuan desa yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam juga kebanyakan mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan kehidupan dikarenakan perkebunan skala besar, pertambangan, instalasi minyak/gas alam telah merusak sumber daya alam, terutama hutan lahan dan air. Kemiskinan semakin bertambah karena lahan-lahan tersebut diambil tanpa ganti rugi setimpal.
Perspektif keadilan gender seringkali ‘terlupakan’ dalam pendampingan terhadap masyarakat,, peran perempuan dianggap sudah terwakilkan oleh kehadiran laki-laki. Minimnya keterlibatan perempuan di dalam rapat pengambilan keputusan baik di tingkat desa maupun negara menjadikan kebutuhan perempuan seringkali terabaikan. Selain itu, perempuan juga seringkali menghadapi diskriminasi dalam birokrasi hukum. Degradasi lahan dan deforestasi juga akan berdampak buruk terhadap kondisi perempuan, mengingat hutan adalah sumber kehidupan mereka. Kini, sudah saatnya perempuan dilibatkan untuk berpartisipasi secara langsung dalam setiap proses pengajuan kebijakan dan pengambilan keputusan, termasuk yang berhubungan dengan hutan dan lahan, karena suara perempuan patut untuk diperhitungkan.