JAKARTA (22/9) - Program SETAPAK bekerja sama dengan Obsat menggelar diskusi publik “Komersialisasi Tambang vs Masa Depan Hutan Indonesia”. Sebagai program rutin dari situs berita beritagar.id, Obsat menjadi wadah diskusi para netizen untuk mengupas peristiwa aktual yang sedang terjadi di Indonesia bersama narasumber yang kompeten di bidangnya. Berikut ini adalah beberapa poin pernyataan para narasumber Obsat #185 yang penting untuk disimak.
Arie @santozariego (Fade2Black):
Salah satu hal yang membanggakan dari Indonesia adalah orang utan. Di belahan dunia manapun, orang utan tetaplah orang utan. Hanya saja, sekarang ini habitat orang utan semakin terbatas sehingga perlu dipikirkan kembali usaha apa yang perlu dilakukan untuk tetap mengakomodirnya.
Merah Johansyah (Koordinator JATAM Nasional):
Izin tambang di Indonesia naik secara signifikan dari 3 ribu menjadi 11 ribu perusahaan. Hal ini tidak lagi hanya berkaitan dengan daratan ataupun lautan, tapi sudah merambah hingga ruang hidup masyarakat. Pasalnya, pertambangan di kawasan hutan lindung mayoritas tidak punya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Di Kalimantan Timur, 15 warga tewas di lubang kawasan eks tambang Samarinda dan 14 diantaranya adalah anak-anak. Dalam 5 bulan terakhir, 6 nyawa melayang dan 3 diantaranya adalah anak-anak.
Dian Patria (Koortim SDA Litbang KPK):
Dari 11 ribu perusahaan tambang, hampir 70% tidak membayar royalti. Mengenai komersialisasi tambang dan hutan, penindakan butuh waktu dan keterbukaan pemerintah.
Rosa Vivien Ratnawati (Direktur Pengaduan Pengawasan dan Sanksi Administrasi Gakkum KLHK):
Setiap perusahaan tambang harus memiliki izin lingkungan yang berasal dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) berisi hal-hal yang harus dipenuhi, barulah kemudian mendapatkan IUP dan jaminan reklamasi. Hanya saja saat ini, banyak AMDAL yang hanya sebatas prosedural perusahaan sehingga banyak ditemukan copy paste dokumen untuk mempercepat turunnya izin, padahal sejatinya AMDAL dilakukan sebagai guardian lapis pertama untuk meminimalisir masalah-masalah lingkungan maupun sosial. Di samping itu, kajian AMDAL juga belum secara spesifik berbicara tentang isu sosial. Hal lainnya ialah ketika sebuah perusahaan tambang sudah memegang IUP dan membayar dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, bukan berarti bisa menambang seenaknya. KLHK kini tidak hanya mempunyai wewenang untuk mengawasi, tetapi juga melakukan penindakan baik secara langsung maupun tidak langsung dibawah tupoksi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK. Masyarakat juga dapat ikut andil dalam melakukan upaya pengawasan yaitu dengan dibukanya Pos Pengaduan KLHK sehingga laporan dari masyarakat dapat segera ditindak lanjuti. KLHK berharap dapat bekerja sama dengan KPK untuk dapat menindak bukan hanya berdasarkan jaminan reklamasi tapi juga dari mana izin tersebut diturunkan. Pada praktiknya, tidak sedikit izin yang turun untuk daerah yang seharusnya tidak dijadikan daerah pertambangan.
Lies Marcoes-Natsir (Penulis & Pegiat Gender):
Kita harus membuka cara pandang dalam menyikapi krisis lingkungan ini. Secara nyata memang berimbas pada krisis biodiversitas, akan tetapi yang tidak kalah penting adalah krisis sosial, dimana beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini dan kekerasan seksual cukup tinggi terjadi di daerah yang rentan dengan krisis lingkungan. Hal ini menjadi bukti bahwa perusakan lingkungan tidak hanya memengaruhi lingkungan itu sendiri, tetapi juga berpengaruh secara tidak langsung pada krisis sosial dan gender.
Dalam acara yang menjadi trending topic Twitter melalui tagar #TambangVsHutan ini, Direktur Program SETAPAK Lili Hasanuddin berharap diskusi ini dapat menyuarakan pesan penyelamatan lingkungan demi peningkatan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat kepada pengambil kebijakan dan pihak perusahaan yang merusak lingkungan. Selain itu, Lili juga berharap masyarakat bisa bersama-sama bahu-membahu mengawasi praktik industri ekstraktif di bidang SDA dan terus mendukung gerakan penyelamatan lingkungan.