Program SETAPAK mempromosikan tata kelola hutan dan lahan yang baik sebagai dasar untuk mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Masyarakat sipil memiliki peran penting untuk mendukung pengakuan masyarakat adat dan klaim lahan masyarakat setempat. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ketika hak masyarakat lokal atas hutan dijamin, hal tersebut menyebabkan lambatnya laju deforestasi, hutan dikelola secara lebih berkelanjutan, pendapatan yang berasal dari hutan didistribusikan secara lebih merata, dan tradisi budaya dapat dipertahankan dengan lebih baik.
Meskipun terdapat banyak manfaat dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan adanya sejarah panjang yang dimiliki banyak masyarakat lokal dan adat dalam mengelola serta memelihara tanah leluhur mereka, masyarakat adat seringkali tidak memiliki hak atas hutan yang merupakan tempat mereka bergantung. Tidak diakuinya hak hutan bagi masyarakat adat memungkinkan pemerintah untuk mengeluarkan izin bagi perusahaan perkebunan, penebangan kayu, dan pertambangan skala besar. Melalui kemitraan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten, kegiatan para mitra program SETAPAK telah menghasilkan peraturan yang mengakui hak-hak masyarakat adat untuk mengelola hutan leluhur mereka, seperti yang terjadi di kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Pencapaian lain yang dilakukan oleh mitra program SETAPAK, HuMA dan KBCF adalah diterbitkannya Surat Keputusan (SK) pengakuan tujuh hutan adat yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 28 Desember 2016 di istana negara. Hal ini merupakan yang pertama kalinya pemerintah mengakui hak masyarakat adat atas lahan melalui skema hutan adat. Peraturan ini melindungi hak-hak masyarakat adat untuk mengelola 6,400 ha hutan secara berkelanjutan.
Gambar 1. Diskusi dengan Kelompok Perempuan di Desa Dulau, Kalimantan Timur untuk memperoleh masukan terhadap Peraturan yang Berkaitan dengan Hak Adat (Sumber: AMAN Kalimantan Timur).
Hak Adat Diakui di Kabupaten Bulungan
Secara historis, rencana tata ruang di Indonesia belum mengenali batas-batas hutan adat dan desa. Hal tersebut mengakibatkan terbitnya izin konsesi yang dialokasikan untuk lahan masyarakat tanpa mengakui masyarakat yang telah mengelola dan bergantung pada sumberdaya alam tersebut dari generasi ke generasi. Dengan adanya hutan dan lahan adat mereka yang berada di bawah ancaman konversi, masyarakat adat tidak memiliki perlindungan hukum yang mereka perlukan untuk menghadapi perluasan industri penebangan, pertambangan dan perkebunan yang terjadi dengan cepat. Industri-industri tersebut berkembang sangat pesat di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi, dengan menempati lahan pertanian dan hutan yang tersisa. Ada banyak dampak yang ditimbulkan dari adanya industri tersebut, termasuk mendorong masyarakat setempat ke wilayah hunian yang lebih kecil sehingga menimbulkan konflik antar masyarakat dan meningkatkan angka kemiskinan, berkurangnya lahan pertanian dan hutan yang merupakan sumber utama penghidupan masyarakat pedesaan.
Sejak 1970-an, tanah di Bulungan telah dilepaskan untuk perusahaan berbasis lahan untuk perkebunan, dan dalam tahun-tahun terakhir, untuk konsesi kelapa sawit dan pertambangan. Masyarakat Kabupaten Bulungan adalah masyarakat dari kelompok etnis Dayak suku Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu, Basap dan Tidung. Komunitas ini hidup di dalam atau di sekitar hutan dan menggunakan praktek-praktek pengelolaan hutan tradisional melalui sistem pengambilan keputusan adat. Meskipun terus menggunakan hasil hutan untuk mata pencaharian mereka dan tangkapan air dan danau untuk mencari ikan, hak masyarakat adat di Bulungan atas hutan tidak diakui negara.
Gambar 2. Diskusi dengan Kelompok Perempuan di Desa Dulau, Kalimantan Timur untuk memperoleh masukan terhadap Peraturan yang Berkaitan dengan Hak Adat (Sumber: AMAN Kalimantan Timur).
Pada bulan Agustus 2014, mitra program SETAPAK yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur dan PIONIR membentuk sebuah forum untuk mempertemukan anggota parlemen, pembuat kebijakan pemerintah daerah, pemimpin adat laki-laki dan perempuan serta akademisi untuk berbicara tentang perlunya pengakuan formal terhadap hak adat di kabupaten tersebut. Selain itu, serangkaian diskusi desa dilakukan antara laki-laki dan perempuan adat dan pemerintah tentang pengelolaan hutan dan isu-isu berbasis hak. Sebagai hasil dari inisiatif ini pemerintah kabupaten sepakat bahwa terdapat kebutuhan untuk pengakuan formal dan menandatangani MoU dengan AMAN Kalimantan Timur, Universitas Borneo, dan perwakilan dari berbagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang dipilih berdasarkan proses pengambilan keputusan kelompok adat itu sendiri. Kesepakatan tersebut menugaskan masing-masing pihak untuk melakukan penelitian dan memberi masukan terhadap peraturan tersebut. Universitas Borneo melakukan penelitian etnografi difasilitasi oleh AMAN Kalimantan Timur untuk mendokumentasikan sejarah masyarakat adat dan praktek pengelolaan hutan di kabupaten tersebut. Sebuah musyawarah adat diadakan untuk menyepakati ketentuan umum peraturan tersebut.
Sebagai hasil dari upaya bersama ini, pada tanggal 30 Desember 2016, sebuah peraturan daerah (no. 12/2016) yang menjamin pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dikeluarkan. Ini adalah hasil yang sangat penting, karena memberikan preseden hukum kepada masyarakat adat untuk memastikan hak penguasaan hutan mereka secara formal. Dengan meluasnya industri berbasis lahan, ini akan menguatkan posisi tawar masyarakat adat ketika bernegosiasi dengan perusahaan swasta yang ingin mendapatkan akses atas tanah leluhur mereka. Peraturan ini merupakan kerangka pengaman hukum yang mensyaratkan perusahaan dapat berdialog dengan masyarakat setempat sebelum mendapat izin pembebasan lahan.
Menjamin Hak Penguasaan Hutan Masyarakat Adat
Mitra Program SETAPAK telah bekerja untuk mendukung komitmen pemerintah nasional dalam memastikan hak-hak pengelolaan hutan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Sejak awal pemerintahannya, Presiden Jowo Widodo menetapkan target untuk mengembalikan akses terhadap 12,7 juta hektar lahan kepada masyarakat yang bergantung pada hutan. Dengan dukungan program SETAPAK, Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) telah memainkan peran kunci dalam pelaksanaan hutan yang dikelola masyarakat adat. Melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh HuMA, enam izin Hutan Adat telah disahkan oleh pemerintah pusat, yang mengakui MHA sebagai berikut: Hutan Adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan; Hutan Adat Tau Taa Wana Posangke di Sulawesi Tengah; Hutan Adat Kulawi di Desa Marena, Sulawesi Tengah; Hutan Adat Marga Serampas di Jambi; Hutan Adat Kasepuhan Karang di Banten; dan Hutan Adat Tapang Semadak, Kalimantan Barat. Sebagai tambahan, Organisasi Masyarakat Sipil di Kalimantan Timur, Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) mendorong pengajuan penetapan Hutan Adat untuk Desa Juaq Asa, Kalimantan Timur. Secara keseluruhan, terdapat sekitar 16,624 orang yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan ketujuh wilayah hutan adat tersebut yang mencakup 6,400 hektar lahan yang telah diakui melalui skema hutan adat, melalui dukungan SETAPAK.
Untuk mendukung akselerasi atas pengakuan formal MHA yang telah diajukan, SETAPAK membangun kerjasama dengan HuMA yang memiliki hubungan cukup panjang dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta melalui sejumlah kerjasama antara jaringan masyarakat sipil di tingkat lokal. Sebelumnya, HuMA yang di dukung oleh lembaga donor lainnya telah mengajukan izin pengakuan Hutan Adat pada bulan Oktober 2016, namun setelah satu bulan dan pengajuan pengakuan izin Hutan Adat tak kunjung diakui oleh pemerintah pusat, SETAPAK mendukung HuMA untuk mendorong proses persetujuan yang sangat lamban. Kerjasama yang dilakukan dengan SETAPAK memberi peluang bagi HuMA untuk terlibat dalam dialog kebijakan bersama KLHK untuk melanjutkan proses persetujuanm termasuk dengan mengadakan konferensi pers, dan melakukan serangkaian pertemuan pada bulan Desember 2016. Sebagai hasilnya, pada 28 Desember 2016, KLHK menyetujui pengakuan empat Hutan Adat yang diajukan, yang melindungi 5,566 hektar luas hutan, yaitu Hutan Adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan seluas 314 hektar, dimana terdapat 11,624 masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut, Hutan Adat Tau Taa Wana Posangke di Sulawesi Tengah seluas 4,660 Hektar yang dihuni oleh 425 orang, Hutan Adat Marga Serampas di Jambi dengan 418 penduduk, dan Hutan Adat Kasepuhan Karang di Banten yang dihuni oleh 2,504 orang penduduk.
Gambar 3. Masyarakat Desa JUAQ Asa bekerja dengan KBCF untuk mendokumentasikan Hutan Adat Hemaq Beniuang (Sumber: KBCF).
Hal tersebut merupakan yang pertama kalinya pemerintah pusat memberikan pengakuan formal atas masyarakat adat yang mewarisi hutan dari leluhur mereka dan telah dikelola selama beberapa generasi. Pengakuan atas kepemilikan Hutan Adat ini kemudian membuka peluang bagi persetujuan aplikasi penguasaan hutan lebih lanjut. HuMA melalui dukungan SETAPAK melanjutkan dukungan untuk pengakuan pengajuan Hutan Adat di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat. Pada Maret 2017, dua pengajuan Hutan Adat diakui, yaitu Hutan Adat Marena di Sulawesi Tengah seluas 741 hektar, yang dihuni oleh 300 penduduk, dan Hutan Adat Tawang Panyai, Kalimantan Barat seluas 40,5 hektar yang dihuni oleh 709 penduduk.
Program SETAPAK juga membentuk kerjasama dengan KBCF untuk mendorong pengakuan Hutan Adat di Kutai Barat, Kalimantan Timur. KBCF mendukung masyarakat Juaq Asa yang wilayah adatnya di zonasi sebagai Area Penggunaan Lain (APL), yang artinya wilayah tersebut berada dalam ancaman konversi industri berbasis lahan. Dengan dukungan SETAPAK, KBCF mendukung MHA untuk mengubah status kawasan hutan mereka menjadi kawasn hutan negara, dan mengupayakan agar hutan adat mereka di akui secara formal. Pada 5 September 2017, MHA Juaq Asa yang menempati Hutan Adat Hemaq Beniuang seluas 48,85 hektar telah disetujui secara formal, yang berarti melindungi kehidupan 617 orang masyarakat setempat.
Mitra-mitra SETAPAK kini menggunakan basis hukum yang berlaku melalui penerbitan peraturan adat di Kabupaten Bulungan untuk mendukung MHA dalam mendapatkan klaim Hutan Adat mereka. AMAN Kalimantan Timur bekerja di Kabupaten Bulungan untuk mendapatkan wilayah adat, sebuah bentuk pengakuan pengelolaan hutan masyarakat di tingkat regional. Di saat yang bersamaan, MHA lainnya yang berada di wilayah hutan di Kalimantan Timur juga di dukung melalui skema tersebut. Peraturan tersebut mewajibkan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk membentuk sebuah komite yang terdiri dari masyarakat sipil dan perwakilan pemerintah, yang bertugas untuk melakukan verifikasi dan validasi atas pemetaan hutan dan lahan, termasuk identifikasi dan dokumentasi atas sumberdaya alam dan warisan budaya di wilayah tersebut.
Kini HuMA mendukung empat kawasan hutan adat tersebut untuk memastikan kelembagaan atas proses pengelolaan hutan dapat berjalan secara efektif. Mereka pun melanjutkan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya dan melibatkan MHA dalam mengawal implementasi Hutan Adat, untuk membangun forum kolaboratif dalam mengidentifikasi dan mengatasi berbagai tantangan dalam proses pengajuan hutan adat yang panjang, agar memungkinkan lebih banyak masyarakat mendapatkan hak penguasaan atas hutan mereka. Pada bulan Maret 2017, sebuah acara yang diselenggarakan di Yogyakarta selama dua hari untuk mempertemukan semua organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu-isu adat, untuk mendiskusikan tantangan dalam pengimplementasian hutan adat. Diskusi tersebut mengidentifikasi bahwa terdapat kebutuhan organisasi masyarakat sipil yang terus-menerus memberi dukungan kepada masyarakat untuk memastikan hutan adat dikelola secara berkelanjutan dan adil. Untuk menanggapi temuan ini, HuMA akan melaksanakan program pelatihan bagi para mitra program SETAPAK lainnya guna membantu mereka bekerja lebih erat dan efektif dengan masyarakat setempat dalam memperkuat perhutanan sosial. Pelatihan tersebut akan mempertimbangkan kebutuhan dan konteks spesifik atas permasalahan yang dihadapi di lapangan, serta peserta pelatihan akan bekerja bersama dengan INSIST untuk menyediakan komponen pengarusutamaan gender guna memastikan keterlibatan perempuan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan di tingkat desa. HuMA juga bekerjasama dengan KLHK untuk menyusun peta jalan (roadmap) nasional dalam pengakuan Hutan Adat di Indonesia, bersama dengan mitra nasional dan regional SETAPAK. Peta jalan tersebut bertujuan untuk membentuk rencana nasional dalam mempercepat proses persetujuan dalam pengajuan Hutan Adat, termasuk memastikan terjalinnya koordinasi antar Kementerian/Lembaga yang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.
Gambar 4. Ibu Ija (Indo’ Ija), tetua adat dari MHA Tau Taa Wana Posangke