Program SETAPAK mempromosikan tata kelola hutan dan lahan yang baik sebagai hal yang fundamental dalam mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Anggaran di tingkat lokal sangat penting untuk melindungi dan merehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi. Pelibatan masyarakat dalam analisis finasial, termasuk pengawasan alokasi anggaran dan aliran pendapatan dari perkebunan kelapa sawit, konsesi kayu dan industri pertambangan diperlukan untuk memastikan manfaat ekonomi dari eksploitasi hutan dan lahan lebih besar dari dampak lingkungan dan sosial yang cukup signifikan.

 

Melalui pelatihan dan mentoring, SETAPAK mendukung para mitra untuk melakukan analisis fiskal terhadap anggaran dan pendapatan daerah yang terkait dengan lingkungan. Mitra mengakses data pemerintah tentang aliran pendapatan di sektor sumber daya alam dan anggaran untuk perlindungan lingkungan. Data tersebut sangat menbantu mitra-mitra dalam mengawasi alokasi anggaran lokal dalam pemanfaatan hutan dan lahan, memastikan dana yang cukup untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat, dan memantau penggunaan anggaran untuk kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) agar bencana asap dapat dihindari. Mitra-mitra SETAPAK juga mengawasi aliran pendapatan dari eksploitasi hutan dan lahan, serta membuat informasi tersebut dapat di akses secara online dan mengadakan serangkaian diskusi publik untuk mendorong respon masyarakat terhadap pelaku kebijakan dalam mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial jangka panjang dari konversi lahan. Hal ini termasuk memperhitungkan dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan masyarakat yang terpinggirkan.

 

Industri ekstraktif dan kehutanan berkontribusi pada aliran pendapatan pemerintah Indonesia. Industri-industri tersebut juga memberikan kerusakan yang signifikan bagi lingkungan dan masyarakat lokal, dan seringkali tidak mematuhi kewajiban pengelolaan lingkungan. Transparansi anggaran merupakan aspek penting dalam memastikan pendapatan dari industri berbasis lahan dan ekstraktif diperoleh pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat. Mitra SETAPAK bekerja untuk meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait anggaran untuk memastikan keputusan penggunaan hutan dan lahan yang dilakukan mempertimbangkan dampak-dampak industri, termasuk kontribusi ekonomi dari beroperasinya industri tersebut.

 

Memberikan Keterampilan Analisis Fiskal untuk Meningkatkan Akuntabilitas Anggaran

 

Program SETAPAK telah melatih mitra-mitranya dalam melakukan analisis anggaran, sehingga memungkinkan mitra dalam melakukan penaksiran alokasi anggaran untuk penggunaan lahan dan pengelolaan hutan. Mitra yang telah dilatih kemudian memeriksa anggaran dan menyajikan hasil analisis mereka untuk dipaparkan dalam dialog kebijakan untuk mempromosikan reformasi anggaran. Dengan kemampuan analisis anggaran yang dimiliki, mitra melakukan sejumlah kajian diantaranya:

  • Di Riau, FITRA Riau menyediakan asistensi teknis kepada pemerintah kabupaten, bekerja dengan Pemkab untuk meningkatkan alokasi dalam tata kelola pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sebagai hasilnya, alokasi untuk pengelolaan hutan desa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Pelalawan dalam meningkat dari 1,98 milyar rupiah (USD 1,467,000) pada tahun 2010-2015, menjadi 23,7 milyar rupiah (USD 1,7 juta) untuk tahun 2016-2021.
  • Di Sumatera Selatan, delapan belas Hutan Desa telah diformalkan pada tahun 2014, namun belum ada pendanaan dari pemerintah yang dianggarkan untuk mendanai pengelolaan dan restorasi hutan. Sebagai hasil dari upaya advokasi yang dilakukan oleh Pilar Nusantara (PINUS) Sumsel, kabupaten Muara Enim mengalokasikan 196 juta rupiah (USD 14,500) setiap tahunnya bagi pengelolaan Hutan Desa, yang mencakup biaya pembibitan, penanaman pohon dan penyusunan kepegawaian, serta pengeluaran lainnya.
  • Di Kalimantan Barat, dinas pertambangan provinsi tidak mengalokasikan bagi petugas untuk melakukan monitoring kawasan, sebab mereka berasumsi hal tersebut disiapkan oleh pemerintah pusat. Mitra SETAPAK, Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) melakukan serangkaian pertemuan dengan pemerintah provinsi, termasuk membawa staff pemerintah untuk melakukan observasi atas dampak dari kawasan pertambangan yang tidak dikelola dengan baik sebagai upaya untuk mendorong pemerintah dalam meningkatkan alokasi anggaran dalam pengawasan di sektor pertambangan. Sebagai hasilnya, pemerintah provinsi mengalokasikan 178 juta rupiah (USD 13,000) di tahun anggaran 2016 untuk monitoring tambang.

Meningkatkan Transparansi Anggaran untuk Mencapai Tujuan Perlindungan Hutan

 

Hutan berbasis masyarakat memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat lokal, dan menyediakan perlindungan yang lebih baik dari deforestasi. Menjamin perlindungan yang lebih baik bagi hutan yang mereka andalkan untuk mendukung keberlangsungan hidup mereka, juga sebagai kunci dalam mengurangi konflik kepemilikan lahan di Indonesia yang tinggi. Pada tahun 2014, pemerintah pusat berkomitmen untuk meningkatkan jumlah kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat sebanyak 12,7 juta hektar hingga tahun 2019. Komitmen ini disambut baik oleh organisasi masyarakat sipil yang telah lama mendorong upaya untuk pengakuan atas hutan yang dikelola masyarakat. Namun, pada bulan November 2017, hanya 604,373 hektar hutan telah di verifikasi secara formal sebagai kawasan yang dikelola oleh masyarakat—hanya 4,8 persen dari target total 12,7 juta hektar. Dalam praktiknya, sejumlah tantangan telah memperlambat implementasi target ambisius pemerintah, termasuk kurangnya kejelasan dalam proses untuk menyetujui izin, dan kekurangan dana untuk membiayai pelaksanaannya.

 

Mitra SETAPAK, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) telah bekerja untuk mengembangkan pedoman yang lebih jelas terkait penyetujuan hutan yang dikelola oleh masyarakat. ICEL bekerja dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membuat rancangan peraturan Menteri yang mengurai tahapan-tahapan dalam menyetujui izin formal untuk berbagai hutan yang dikelola oleh masyarakat, seperti hutan desa, hutan, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Rancangan peraturan tersebut kemudian disetujui secara formal oleh KLHK pada 7 November 2016, dengan mentapkan pedoman bagi pemerintah regional dan provinsi untuk mengikuti proses pengajuan izin pengelolaan hutan berbasis masyarakat. ICEL juga memastikan bahwa peraturan tersebut mengamanatkan agar ada dana yang dialokasikan dalam anggaran pemerintah daerah untuk mendukung pengelolaan dan penghijauan hutan yang dikelola oleh masyarakat. Dengan memanfaatkan peraturan ini, mitra SETAPAK, FITRA Riau dan PINUS Sumatera Selatan mendorong pemerintah di provinsi masing-masing untuk meningkatkan alokasi anggaran mereka bagi hutan yang dikelola oleh masyarakat. Upaya mereka berbuah hasil. Sebanyak 2,41 milyar rupiah (USD 181,500) dialokasikan untuk mendukung hutan berbasis masyarakat di dua provinsi.

 

SETAPAK juga melakukan penyelidikan untuk memeriksa alokasi anggaran dan pengeluaran terkait inisiatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat. SETAPAK melibatkan pakar analisis anggaran untuk bekerja sama dengan Indonesia Budget Centre (IBC) di tingkat nasional, dan mitra SETAPAK di berbagai provinsi untuk meeriksa alokasi anggaran dan pengeluaran anggaran negara. Analisis anggaran yang dilakukan oleh mitra menemukan bahwa alokasi anggaran provinsi hanya sebagian kecil dari total alokasi yang diperlukan untuk memastikan skema tersebut diterapkan secara formal. Pada tingkat nasional. 38,7 milyar rupiah (USD 2,8 juta) telah dialokasikan untuk pendanaan formalitas hutan berbasis masyarakat yang jumlahnya tidak kurang dari 19,500 rupiah (USD 1,50) per hektar hutan. Jumlah tersebut secara signifikan kurang dari biaya aktual untuk melaksanakan target pemerintah, yang diperkirakan oleh mitra SETAPAK mencapai sekitar 4 milyar rupiah (USD 295 juta) untuk mencapai target 12,7 juta hektar, dengan biaya 327,000 rupiah per tahun per hektar hutan (USD 24). Estimasi tersebut termasuk biaya untuk pemetaan hutan yang dikelola masyarakat lokal, melibatkan masyarakat untuk mendokumentasikan kawasan historis dan budaya setempat, memfasilitasi pertemuan untuk membentuk institusi pengelolaan masyarakat, dan menyusun dokumen proposal yang diperlukan dalam menetapkan batas hutan dan rencana pengelolaan berbasis gender. Dari sepuluh provinsi yang merupakan wilayah kerja SETAPAK, tiga pemerintah provinsi—Aceh, Papua, dan Papua Barat sama sekali belum memiliki alokasi untuk mendukung implementasi hutan berbasis masyarakat. Pendanaan di provinsi lainnya juga jauh di bawah biaya sebenarnya yang dibutuhkan untuk implementasi hutan berbasis masyarakat. Provinsi dengan alokasi anggaran tertinggi adalah Sumatera Selatan, namun hanya 0,03 persen anggaran provinsi yang telah dialokasikan untuk mendukung implementasi hutan berbasis masyarakat.

nalisis anggaran yang dilakukan oleh SETAPAK juga menemukan bahwa hanya dengan mengurangi alokasi dana untuk perjalanan dinas staf pemerintah dan pengeluaran untuk hiburan sebanyak lima persen, dana tersebut dapat digunakan untuk menutupi keurangan biaya yang dibutuhkan dalam mebiayai implementasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat. SETAPAK mendukung mitra untuk menyusun kertas kebijakan yang dapat memaparkan temuan dan rekomendasi mereka tentang bagaimana mengatasi kekurangan anggaran untuk mempercepat pelaksanaan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Kepulauan Mentawai telah menyetujui untuk meningkatkan alokasi anggaran di tahun 2018 bagi hutan yang dikelola oleh masyarakat.

Analisis anggaran yang dilakukan oleh mitra-mitra SETAPAK juga mengungkapkan terdapat sejumlah besar dana yang tidak digunakan oleh pemerintah dalam Dana Reboisasi. Dana Reboisasi adalah pungutan terhadap kayu berbasis volume, dimana pemilik konsesi diharuskan membayar setiap meter kubik kayu yang dipanen dari hutan alam. Pendanaan dilakukan di rekening bank dilakukan di rekening bank pemerintah kabupaten yang akan digunakan untuk membiayai penghijauan lahan setelah izin usaha perkebunan kayu berakhir. Dari akumulasi selama 20 tahun terakhir, Dana Reboisasi diperkirakan memiliki penerimaan agregat sekitar 6,87 triliun rupiah (USD 508 juta). Untuk menyisihkan pembiayaan penghijauan wilayah konsesi bekas penebangan kayu, Peraturan Pemerintah (PP) no. 35 tahun 2002 mengenai Dana Reboisasi secara spesifik menyebutkan mengenai bagaimana dana dapat digunakan, termasuk ketegori untuk mengelola kebun raya dan taman, pemetaan batas wilayah hutan, memantau dan melindungi wilayah hutan dari penggunaan ilegal, memperbaharui sistem penampungan air, membangun pembibitan tanaman, serta untuk mendanai penelitian dan pengembangan lebih lanjut.

 

SETAPAK mendukung mitra-mitra dalam melakukan riset terkait pengeluaran dan penggunaan Dana Reboisasi saat ini. Dari hasil kajian ditemukan bahwa pemerintah kabupaten belum menggunakan anggaran tersebut dikarenakan kurangnya kejelasan mengenai bagaimana dan pada kegiatan apa saja dana tersebut dapat digunakan. Untuk menyelesaikan hambatan tersebut, SETAPAK memfasilitasi terbentuknya koalisi nasional yang dipimpin oleh organisasi masyarkat sipil seperti Indonesia Budget Center (IBC) dan PATTIRO, bersama dengan delapan organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal untuk mendorong adanya kejelasan dalam pengelolaan dan pencairan Dana Reboisasi. Koalisi tersebut kemudian menyusun kertas kebijakan yang merekomendasikan perlunya kategori-kategori lain untuk ditambahkan dalam regulasi yang berkaitan dengan penggunaan Dana Reboisasi, dan pedoman tersebut disosialisasikan dalam lembag untuk memperjelas cara-cara penggunaan dana.

 

Koalisi tersebut menyampaikan temuannya dalam dialog dengan anggota kunci di DPR RI, sekaligus menyampaikan rekomendasi mereka. Pada bulan Oktober 2017, anggota DPR RI bertemu dengan Kementerian Keuangan untuk mendiskusikan hal-hal yang disampaikan dalam kertas kebijakan koalisi masyarakat sipil. Kementerian Keuangan setuju untuk merevisi peraturan dan meminta bantuan koalisi masyarakat sipil untuk mendukung pengembangan regulasi tersebut. Koalisi kemudian mengembangkan panduan teknis yang mengatur proses pengeluaran Dana Reboisasi. Mereka juga terlibat dalam mengembangkan keputusan Menteri Keuangan yang baru untuk memungkinkan pengeluaran Dana Reboisasi bagi pengelolaan hutan dan lahan, termasuk yang dikelola oleh masyarakat, mencegah kebakaran hutan, rehabilitasi kawasan hutan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan negara.

 

Alokasi Anggaran untuk Pencegahan Kebakaran Hutan dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Riau

Di Riau, sebuah provinsi yang menjadi titik krisis kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, ada kebutuhan mendesak untuk memperbaiki pengawasan dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Mitra SETAPAK, Yayasan Mitra Insani (YMI) dan FITRA Riau mengakses anggaran provinsi pemerintah dengan menggunakan mekanisme keterbukaan informasi untuk menganalisis dan mengidentifikasi alokasi anggaran bagi pengelolaan hutan dan lahan. Dari hasil analisis tersebut, mereka membuat kertas kebijakan (policy brief) yang memuat rekomendasi bahwa pemerintah perlu mengurangi pengeluaran yang tidak perlu untuk perjalanan pegawai negeri, dan meningkatkan pengeluaran untuk memperbaiki pengawasan titik api dan mendorong inisiatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mitra menyampaikan kertas kebijakan tersebut dalam pertemuan mereka dengan anggota parlemen dan tim pengembangan anggaran pemerintah. YMI dan FITRA Riau juga melakukan kampanye publik menggunakan media sosial dengan membagikan infografis tentang perlunya meningkatkan pengeluaran bagi pengelolaan kebakaran dan guna mencegah terjadinya karhutla di periode mendatang.

 

Sebagai hasil dari upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil, alokasi anggaran untuk penanganan kebakaran hutan dan pencegahannya telah meningkat di dalam anggaran provinsi, dari 18,4 milyar rupiah (USD 1,36 juta) di anggaran tahun 2016, menjadi 29,3 milyar rupiah (USD 2,16 juta) di anggaran tahun 2017. Alokasi anggaran tahun 2017 akan digunakan untuk perlengkapan pemadaman kebakaran, pelatihan untuk staff pemantau kebakaran dan pembangunan fasilitas pemantauan api, serta memperbarui peta wilayah gambut yang dapat merinci area gambut yang rentan terbakar. Alokasi anggaran juga meningkat untuk perhutanan sosial, dari 1,01 milyar rupiah (USD 74,700) pada anggaran tahun 2016, menjadi 2,22 milyar rupiah (USD 164,140) pada anggaran tahun 2017. Alokasi anggaran perhutanan sosial akan digunakan untuk pengadaan bibit restorasi hutan, dan mendukung aktivitas pengelolaan hutan berbasis masyarakat, termasuk perencanaan dan pembentukan kelembagaan.

 

Mitra-mitra SETAPAK bekerja untuk memastikan dialokasikannya anggaran yang sesuai untuk melindungi penggunaan hutan dan lahan, serta memastikan akuntabilitas pemerintah. Mitra SETAPAK juga menuntut agar pendapatan yang dikumpulkan dari industri ekstraktif dan berbasis hutan memberi kontribusi positif bagi Indonesia, melebihi dampak negatif yang ditimbulkan dari industri tersebut. Mitra bekerja untuk memastikan alokasi anggaran cukup untuk perlindungan hutan yang memadai, termasuk dukungan dari implementasi hutan berbasis masyarakat. Meningkatkan akses terhadap pengeluaran dan pendapatan anggaran, serta transparansi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait alokasi anggaran menjadi sangat penting untuk memastikan keadilan sosial dan lingkungan di Indonesia.

Mengurangi Pengeluaran Pemerintah yang Tidak Tepat Guna dalam Anggaran Riau

Dalam analisis alokasi anggaran provinsi Riau di tahun 2017, FITRA Riau mengidentifikasi adanya pengeluaran anggaran belanja tidak wajar dan bernilai besar, pembelian 65 mobil untuk anggota parlemen dengan total 37 milyar rupiah (USD 2,7 juta). FITRA Riau menyampaikan permasalahan terkait penggunaan anggaran tersebut melalui jumpa pers dan mengadakan aksi untuk menyampaikan keluhan masyarakat sipil terkait perencanaan anggaran belanja pemerintah yang tidak wajar. Mereka juga bertemu dengan pemerintah Riau untuk mendiskusikan hal tersebut, dan mengadvokasi alokasi untuk pembelian mobil anggota parlemen yang sebaiknya digunakan bagi penanganan dan pencegahan karhutla. Meskipun rekomendasi untuk mengalihkan alokasi untuk menangani karhutla tidak diadopsi oleh pemerintah, alokasi anggaran tersebut tidak digunakan untuk membeli mobil dan dialokasikan bagi suplus anggaran provinsi.

comments